Senin, 23 Juli 2012

MEMBANGUN AGRIBISNIS PADI

Ummu Harmain*)

Komoditi padi bagi Bangsa Indonesia merupakan produk strategis dan multi dimensi karena memiliki peranan penting, bukan hanya sebagai makanan pokok tapi juga memiliki pengaruh terhadap keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik sehingga tidak heran mengapa setiap pemimpin bangsa ini selalu berkepentingan terhadap komoditas yang satu ini. Berbagai kebijakan telah dibuat untuk mengatur produksi, ketersediaan dan distribusi. Demikian pula terhadap pelaku, infrastruktur dan kelembagaannya. Dan secara jujur kita katakan pembangunan agribisnis padi saat ini masih berjalan sangat lambat bila tidak mau disebut stagnan.
Tidak dapat dipungkiri, meski ada berbagai kelemahan, zaman keemasan padi  Indonesia berada pada era Orde Baru yang dirintis sejak akhir tahun 60-an dan berhasil mencapai puncaknya pada tahun 1984 ditandai dengan dicapainya swasembada beras. Keberhasilan tersebut karena terjadi perbaikan pada berbagai aspek seperti produksi, produktivitas, teknologi dan kelembagaan.  
Namun sejak tercapainya swasembada tersebut pertumbuhan yang terjadi sangat lamban, hampir tidak ada kemajuan yang berarti. Bila dilihat dari sistem agribisnisnya, semua sisi dalam kondisi lemah. Di sisi input, benih padi yang diandalkan adalah benih hibrida yang umumnya didapatkan dari lembaga penelitian luar negeri. Pupuk (selain urea) dan pestisida hampir semua bahan baku berasal dari impor. Bahkan bila dilihat perkembangan teknologi mekanisasi, tidak ada perubahan sama sekali.
Di sisi usahatani, selain tingkat pendidikan petani yang rendah, luas penguasaan lahan semakin sempit dan tingginya tingkat konversi lahan. Rata-rata penguasaan lahan hanya 0,3 hektar, bahkan tidak sedikit petani yang hanya menguasai 0,1 hektar. Alih fungsi lahan berkisar 100.000 ha/tahun sementara pencetakan sawah baru hanya sekitar 20.000 ha/tahun. Begitu juga dengan perilaku petani, pengunaan pupuk urea yang semestinya “hanya” 250 kg/ha, pada aplikasinya bisa berkisar 500 – 700 kg/ha. Meski jumlah tenaga kerja di sektor pertanian cukup banyak tapi justru sering terjadi kekurangan tenaga saat pengolahan tanah dan panen. Belum lagi minat generasi muda yang merasa inferior memiliki cita-cita sebagai petani, karena bertani bukanlah pekerjaan yang dapat diandalkan.
Di sisi pasca panen dan pengolahan, seperti yang diungkapkan Sawit (2012) terjadi perubahan penyusutan panen dan pasca panen padi sebesar -9,69% antara tahun 1995 – 2007 padahal teknologi panen dan perontokan belum banyak berubah. Belum lagi turunnya rendemen giling, bila pada tahun 1950 rendemen giling mencapai 71% pada tahun 2008 turun menjadi 62,74%.
Di sisi pemasaran, kita memiliki BULOG yang di awal pendiriannya diharapkan mampu menstabilkan harga beras dan mengelola cadangan pangan. Saat ini perannya belum terasa. Alih-alih mampu menstabilkan harga beras kenyataannya dapat dilihat bahwa secara umum harga beras domestik justru lebih sering di atas harga dasar dan harga beras internasional, dan anehnya justru tingginya harga beras tidak dinikmati oleh petani.
BULOG juga belum mampu mengurangi kehilangan pasca panen dan meningkatkan nilai tambah padahal dana yang diguyurkan Rp 10 – 15 triliun pertahun ke wilayah perdesaan. Sehubungan dengan kualitas beras, sebagian besar beras pengadaannya dilakukan saat musim panen raya yang memiliki kualitas rendah. Selanjutnya, beras yang dibeli hampir semua berasal dari pabrik penggilingan kecil yang sudah tua (investasi tahun 1970 - 1980an) yang jumlahnya mencapai 95% dari seluruh pabrik penggilingan yang ada.
Di sisi penunjang, petani selalu kesulitan dalam mendapatkan modal sementara lembaga perbankan masih enggan menyalurkan karena risiko yang tinggi. Dari total Rp 1.750 triliun kredit perbankan selama 2010, hanya 2,2% (Rp 1,925 triliun) yang diserap sektor pertanian secara luas. Penyerapan kredit untuk sektor usaha pertanian semacam KUR umumnya rendah karena di lapangan fasilitas pembiayaan itu sulit diakses petani.
Untuk memperbaiki kelemahan agribisnis padi di atas diperlukan kerja keras, cepat, terarah dan serius. Karena permasalahan yang cukup kompleks maka perlu dilakukan pentahapan mulai dari yang bersifat segera sampai tahap jangka panjang. Subsistem usaha tani tidak akan kuat bila subsistem hulu dan hilirnya lemah.
Di sisi input, perlu dikembangkan bibit unggul lokal unggul yang dikembangkan oleh lembaga penelitian, kelompok tani atau penangkar dalam negeri sehingga tidak hanya tergantung pada Sang Hyang Sri sebagai penyedia benih. Dengan tersedianya bibit unggul lokal diharapkan beras yang dihasilkan memiliki kualitas yang beragam. Diperlukan pula upaya untuk menggalakkan pertanian organik. Bila ini dapat dilakukan maka subsidi pupuk yang besarnya mencapai 17,7 triliun (tahun 2011) dapat dihemat dan dialokasikan pada infrastruktur pertanian yang “hanya” 4 triliun. Terkait dengan mekanisasi maka perlu diupayakan teknologi yang tepat guna dan lebih efisien.
Di sisi usahatani, saat ini pengusaan lahan trendnya semakin sempit sehingga perlu diupayakan agar penguasaan lahan menjadi semakin luas, misalnya dengan mempercepat  pendistribusian lahan kepada petani, kredit pemilikan lahan bagi petani, kebijakan pembatasan warisan areal pertanaman hanya kepada satu anak. Selanjutnya perlu percepatan tersedianya rencana tata ruang dan wilayah serta ketegasan untuk dapat memperlambat laju konversi lahan sawah. Perlu juga diupayakan memberi insentif bagi petani yang mengusakan tanaman padi. Selama ini komoditas padi hanya dipandang sebagai produk an sich tanpa melihat besarnya nilai eksternalitas yang diberikan komoditas ini.
Di sisi pengolahan, dilakukan upaya untuk memperkuat industri penggilingan padi. Kehilangan hasil padi mencapai 10,8% (BPS 2008) karena pengeringan, penggilingan dan pengangkutan. Hendaknya perlu didorong modernisasi penggilingan padi, penggunaan dryer mekanis dan perluasan skala usaha menjadi penggilingan kelas menengah dan besar sehingga lebih efisien.
Di sisi pemasaran, dalam pengadaan beras hendaknya BULOG perlu melakukan pembelian berdasarkan kualitas dengan menyediakan beberapa HPP sehingga menjadi insentif bagi petani untuk memperbaiki kualitas berasnya dan mengembangkan padi unggul lokal.
Di sektor penunjang, diperlukan kejelian untuk dapat menyalurkan dana yang tersedia agar dapat diserap petani. Misalnya dengan adanya kemudahan dan penyederhanaan administrasi. Lembaga perbankan takut memberikan kredit pada petani karena tingginya risiko di sektor pertanian. Selain itu juga mensyaratkan adanya jaminan yang justru menjadi permasalahan tersendiri. Ketakutan perbankan dapat diminimalisir bila ada lembaga yang menjamin pinjaman petani. Pemerintah diharapkan mampu berperan disini. Bukankah mereka bekerja untuk memberi makan sekitar 250 juta masyarakat Indonesia?
Selanjutnya, diperlukan kerjasama yang sungguh-sungguh antara pihak terkait seperti lembaga tani, asosiasi perberasan dan dukungan DPR untuk membangun agribisnis beras. Hal ini tampaknya mudah diucapkan namun sangat sulit dalam aplikasinya!
*) Pengajar di Program Studi Agribisnis Universitas Simalungun, Mahasiswa Program Doktor Agribisnis Universitas Gadjah Mada.

1 komentar: