Ummu
Harmain*)
Komoditi padi bagi Bangsa
Indonesia merupakan produk strategis dan multi dimensi karena memiliki peranan
penting, bukan hanya sebagai makanan pokok tapi juga memiliki pengaruh terhadap
keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik sehingga tidak heran mengapa setiap
pemimpin bangsa ini selalu berkepentingan terhadap komoditas yang satu ini.
Berbagai kebijakan telah dibuat untuk mengatur produksi, ketersediaan dan
distribusi. Demikian pula terhadap pelaku, infrastruktur dan kelembagaannya. Dan
secara jujur kita katakan pembangunan agribisnis padi saat ini masih berjalan
sangat lambat bila tidak mau disebut stagnan.
Tidak dapat dipungkiri, meski
ada berbagai kelemahan, zaman keemasan padi Indonesia berada pada era Orde Baru yang dirintis
sejak akhir tahun 60-an dan berhasil mencapai puncaknya pada tahun 1984
ditandai dengan dicapainya swasembada beras. Keberhasilan tersebut karena
terjadi perbaikan pada berbagai aspek seperti produksi, produktivitas, teknologi
dan kelembagaan.
Namun sejak tercapainya
swasembada tersebut pertumbuhan yang terjadi sangat lamban, hampir tidak ada
kemajuan yang berarti. Bila dilihat dari sistem agribisnisnya, semua sisi dalam
kondisi lemah. Di sisi input, benih padi yang diandalkan adalah benih hibrida
yang umumnya didapatkan dari lembaga penelitian luar negeri. Pupuk (selain urea)
dan pestisida hampir semua bahan baku berasal dari impor. Bahkan bila dilihat perkembangan
teknologi mekanisasi, tidak ada perubahan sama sekali.
Di sisi usahatani, selain
tingkat pendidikan petani yang rendah, luas penguasaan lahan semakin sempit dan
tingginya tingkat konversi lahan. Rata-rata penguasaan lahan hanya 0,3 hektar,
bahkan tidak sedikit petani yang hanya menguasai 0,1 hektar. Alih fungsi lahan
berkisar 100.000 ha/tahun sementara pencetakan sawah baru hanya sekitar 20.000
ha/tahun. Begitu juga dengan perilaku petani, pengunaan pupuk urea yang
semestinya “hanya” 250 kg/ha, pada aplikasinya bisa berkisar 500 – 700 kg/ha.
Meski jumlah tenaga kerja di sektor pertanian cukup banyak tapi justru sering
terjadi kekurangan tenaga saat pengolahan tanah dan panen. Belum lagi minat
generasi muda yang merasa inferior memiliki cita-cita sebagai petani, karena
bertani bukanlah pekerjaan yang dapat diandalkan.
Di sisi pasca panen dan
pengolahan, seperti yang diungkapkan Sawit (2012) terjadi perubahan penyusutan
panen dan pasca panen padi sebesar -9,69% antara tahun 1995 – 2007 padahal
teknologi panen dan perontokan belum banyak berubah. Belum lagi turunnya
rendemen giling, bila pada tahun 1950 rendemen giling mencapai 71% pada tahun
2008 turun menjadi 62,74%.
Di sisi pemasaran, kita
memiliki BULOG yang di awal pendiriannya diharapkan mampu menstabilkan harga
beras dan mengelola cadangan pangan. Saat ini perannya belum terasa. Alih-alih
mampu menstabilkan harga beras kenyataannya dapat dilihat bahwa secara umum
harga beras domestik justru lebih sering di atas harga dasar dan harga beras
internasional, dan anehnya justru tingginya harga beras tidak dinikmati oleh
petani.
BULOG juga belum mampu
mengurangi kehilangan pasca panen dan meningkatkan nilai tambah padahal dana
yang diguyurkan Rp 10 – 15 triliun pertahun ke wilayah perdesaan. Sehubungan
dengan kualitas beras, sebagian besar beras pengadaannya dilakukan saat musim
panen raya yang memiliki kualitas rendah. Selanjutnya, beras yang dibeli hampir
semua berasal dari pabrik penggilingan kecil yang sudah tua (investasi tahun
1970 - 1980an) yang jumlahnya mencapai 95% dari seluruh pabrik penggilingan yang
ada.
Di sisi penunjang, petani
selalu kesulitan dalam mendapatkan modal sementara lembaga perbankan masih
enggan menyalurkan karena risiko yang tinggi. Dari
total Rp 1.750 triliun kredit perbankan selama 2010, hanya 2,2% (Rp 1,925
triliun) yang diserap sektor pertanian secara luas. Penyerapan kredit untuk sektor usaha pertanian semacam
KUR umumnya rendah karena di lapangan fasilitas pembiayaan itu sulit diakses
petani.
Untuk memperbaiki kelemahan
agribisnis padi di atas diperlukan kerja keras, cepat, terarah dan serius.
Karena permasalahan yang cukup kompleks maka perlu dilakukan pentahapan mulai
dari yang bersifat segera sampai tahap jangka panjang. Subsistem usaha tani
tidak akan kuat bila subsistem hulu dan hilirnya lemah.
Di sisi input, perlu dikembangkan
bibit unggul lokal unggul yang dikembangkan oleh lembaga penelitian, kelompok
tani atau penangkar dalam negeri sehingga tidak hanya tergantung pada Sang
Hyang Sri sebagai penyedia benih. Dengan tersedianya bibit unggul lokal
diharapkan beras yang dihasilkan memiliki kualitas yang beragam. Diperlukan
pula upaya untuk menggalakkan pertanian organik. Bila ini dapat dilakukan maka
subsidi pupuk yang besarnya mencapai 17,7 triliun (tahun 2011) dapat dihemat
dan dialokasikan pada infrastruktur pertanian yang “hanya” 4 triliun. Terkait
dengan mekanisasi maka perlu diupayakan teknologi yang tepat guna dan lebih
efisien.
Di sisi usahatani, saat ini
pengusaan lahan trendnya semakin
sempit sehingga perlu diupayakan agar penguasaan lahan menjadi semakin luas, misalnya
dengan mempercepat pendistribusian lahan
kepada petani, kredit pemilikan lahan bagi petani, kebijakan pembatasan warisan
areal pertanaman hanya kepada satu anak. Selanjutnya perlu percepatan tersedianya
rencana tata ruang dan wilayah serta ketegasan untuk dapat memperlambat laju
konversi lahan sawah. Perlu juga diupayakan memberi insentif bagi petani yang
mengusakan tanaman padi. Selama ini komoditas padi hanya dipandang sebagai
produk an sich tanpa melihat besarnya
nilai eksternalitas yang diberikan komoditas ini.
Di sisi pengolahan,
dilakukan upaya untuk memperkuat industri penggilingan padi. Kehilangan hasil
padi mencapai 10,8% (BPS 2008) karena pengeringan, penggilingan dan
pengangkutan. Hendaknya perlu didorong modernisasi penggilingan padi, penggunaan
dryer mekanis dan perluasan skala
usaha menjadi penggilingan kelas menengah dan besar sehingga lebih efisien.
Di sisi pemasaran, dalam
pengadaan beras hendaknya BULOG perlu melakukan pembelian berdasarkan kualitas dengan
menyediakan beberapa HPP sehingga menjadi insentif bagi petani untuk
memperbaiki kualitas berasnya dan mengembangkan padi unggul lokal.
Di sektor penunjang,
diperlukan kejelian untuk dapat menyalurkan dana yang tersedia agar dapat
diserap petani. Misalnya dengan adanya kemudahan dan penyederhanaan
administrasi. Lembaga perbankan takut memberikan kredit pada petani karena tingginya
risiko di sektor pertanian. Selain itu juga mensyaratkan adanya jaminan yang
justru menjadi permasalahan tersendiri. Ketakutan perbankan dapat diminimalisir
bila ada lembaga yang menjamin pinjaman petani. Pemerintah diharapkan mampu
berperan disini. Bukankah mereka bekerja untuk memberi makan sekitar 250 juta
masyarakat Indonesia?
Selanjutnya, diperlukan
kerjasama yang sungguh-sungguh antara pihak terkait seperti lembaga tani,
asosiasi perberasan dan dukungan DPR untuk membangun agribisnis beras. Hal ini tampaknya
mudah diucapkan namun sangat sulit dalam aplikasinya!
*) Pengajar di Program
Studi Agribisnis Universitas Simalungun, Mahasiswa Program Doktor Agribisnis
Universitas Gadjah Mada.
Mantap pak, majukan agribisnis Indonesia!
BalasHapus